Saturday, 12 July 2014

Blog Makanan di Pulau Pinang: urutam tradisional batin untuk lelaki ... - Blog Makanan di Pulau Pinang

Blog <b>Makanan</b> di <b>Pulau Pinang</b>: urutam <b>tradisional</b> batin untuk lelaki <b>...</b> - Blog Makanan di Pulau Pinang


Blog <b>Makanan</b> di <b>Pulau Pinang</b>: urutam <b>tradisional</b> batin untuk lelaki <b>...</b>

Posted: 08 Jun 2014 11:26 AM PDT

Penang-penginapan bergaya klasik ini banyak diminati

Penginapan bergaya klasik ini banyak diminati

(Latah) ikut-ikutan General Check Up di negeri tetangga...

Kecenderungan sebagian masyarakat Indonesia untuk berobat atau sekedar memeriksakan kesehatan di luar negeri (sejauh ini yang terbanyak yaitu di Malaysia, Singapura, China dan Taiwan) mulanya sama sekali tak menjadi perhatian saya. Juga tatkala sekumpulan teman-teman dekat bahkan kerabat juga mulai berbagi cerita betapa profesionalnya  pengobatan di luar negeri, saya masih kalem dan tenang saja. Sedikit cuek malahan. Padahal, sahabat dekat saya yang, maaf, sedikit anti dengan segala sesuatu menyangkut negara serumpun tersebut, dalam suatu kesempatan mengakui manfaat berobat disana. Ya, dia memang telah cukup lama menderita penyakit tertentu, dan jika dihitung-hitung, dana yang dihabiskannya untuk berobat dari dokter yang satu ke dokter yang lain termasuk menguras kantong namun menurutnya hasilnya masih nihil. Dia baru tergerak berkonsultasi via email (tentu saja gratis) dengan petugas medis di salah satu rumah sakit di Penang dan mengikuti saran-sarannya saja sudah agak baikan. Akhirnya, sambil bermaksud plesiran, dia berobat dan kini sudah jauh lebih sehat daripada sebelumnya. Dengan senyum dia berkata, "Coba kalau dari dulu, irit deh biaya berobatnya. Enggak terlalu mahal tapi ada hasilnya. Ada tambahan biaya tiket dan hotel? Hmm.., anggap sekalian plesiranlah!"

Kemudian, inbox saya deras dihujani berbagai email tentang pengalaman kawan-kawan yang memuji manfaat berobat di negara tetangga. Kalau China dan Taiwan, hmmm…, boleh dieliminasi lah, ya kali ini. Mengapa? Soal kehebatannya, saya tak ragukan, apalagi China. Keharusan mengajukan visa dan jarak yang lumayan jauh dari tanah air, bolehlah saya kedepankan sebagai pertimbangan, selain… tentu saja kendala bahasa! Selanjutnya, Singapura. Ouwh! Kalau membayar jasa medis di negeri sendiri saja sudah ngos-ngosan, jangan tanya di negara singa tersebut! Pasti berkali-kali lipat bukan? Malaysia? Ah, ini dia! Siapa yang belum dengar betapa wisata kesehatan dikemas demikian menarik oleh mereka??? Pada plesir Malaka di edisi majalah TIM bulan November 2013 lalu, pernah saya singgung mengenai hal ini. Sejauh itu, saya belum tergoda sih. Masih agak sayang untuk mengeluarkan sejumlah uang demi yang disebut pemeriksaan kesehatan secara umum ataupun lebih khusus lagi. Di Malaka dan Penang, marakbenar orang Indonesia yang mengambil paket berobat. Sampai-sampai beberapa rekan mengklaim, saat dia mengantar kolega atau dia sendiri yang berkepentingan dengan urusan jasa medis dan menempuh jarak lumayan jauh dari tanah air ke salah satu dari daerah itu, dengan mudah telinganya menangkap dialog dalam bahasa Indonesia yang sangat kental di berbagai sudut rumah sakit yang dia kunjungi. Mayoritas yang berobat kesana berasal dari Medan, Surabaya, Semarang dan Jakarta, walau dari Surakartapun banyak juga. Sampai sebegini jauh, belum juga saya terusik, meskipun saya sendiri ada sedikit kendala kesehatan. Padahal, baik Malaka maupun Penang sama-sama pernah saya singgahi. Bahkan dalam tulisan berbeda juga saya kisahkan kunjungan pertama kali saya ke Penang untuk berwisata kuliner biarpun lebih banyak di daratannya yaitu Butterworth.

Benar, dalam beberapa hal Penang mempunyai persamaan dengan Malaka. Antara lain bahwa keduanya sama-sama dinobatkan sebagai warisan budaya dunia (world herritage), mempunyai pesona yahud untuk memuaskan selera makan, dimana berbagai kuliner siap menggoyang lidah dan berharga terjangkau, tata kota yang membuat pelancong merasa nyaman dan tentu saja seperti saya sebut tadi, keduanya adalah tujuan untuk berwisata kesehatan. Bukan hal baru jika saya mendengar ucapan bahwa segenap rumah sakit di Malaka maupun Penang adalah rumah sakitnya orang Indonesia, hahahaha…. habisnya, pasiennya ya dari negara kita sih….!

Suatu saat, sebuah pesan melalui blackberry messanger mengusik saya. Isinya yaitu sebuah paket pemeriksaan kesehatan yang agak terjangkau. Yang diperiksapun banyak item. Lama saya bertanyajawab dengan sang pengirim yang tak lain adalah agent yang berkantor cabang di Semarang, Medan dan Surakarta. Saya mencari keterangan pula dari berbagai nara sumber, mereka yang telah pernah menikmati manfaat dari penawaran serupa. Dan setelah melewati waktu yang lama serta banyak segi pertimbangan, mantap deh keputusan saya untuk mengambil paket Executive Screening seharga 340 ringgit dan minta diemailkan surat perjanjian untuk bertemu dokter di salah satu rumah sakit. Executive Screening pada dasarnya adalah paket dasar saja, dimana kita bisa tahu apakah fungsi organ tubuh kita masih oke dan ditangani oleh dokter umum. Untuk hal serupa tetapi ditangani oleh dokter spesialis, harga paketnya 600 ringgit.

Disebabkan beberapa hal, seperti adanya gratis biaya penjemputan dari rumah sakit, penginapan murah meriah bersih di dekat rumah sakit (otomatis menghemat biaya transportasi) dan membandingkan paket yang ada dengan di rumah sakit lain baik di Malaka, saya akhirnya memilih sebuah rumah sakit di Penang sebagai tempat untuk mengambil paket ini. Kebetulan, agent nya bekerjasama dengan rumahsakit tersebut. Saya juga telah membaca testimoni yang positif dari beberapa rumah sakit di Penang, dan menurut saya, pilihan saya tepat deh untuk memutuskan di rumah sakit yang berada di jalan Macalister ini. Syukur-syukur hasil pemeriksaan bagus semua dan dapat saya lanjutkan dengan wisata kuliner bukan? Hehehe…. Penang gitu loh! Kuliner apa yang tak bisa ditemui disini??

Nah, mikir apalagi? Waktunya untuk mengemas barang dan pergi, bukan?

Terpaut waktu tak sampai satu jam, cuaca ekstrem menyambut

Salah satu kuil terkenal di Penang

Salah satu kuil terkenal di Penang

Kian mendekati hari 'ha' keberangkatan, hati saya harap-harap cemas. Pasalnya, mengulang kejadian serupa tahun lalu, banjir lagi-lagi melanda ibukota tercinta. Bahkan pada beberapa kesempatan saya kena dampaknya, turut terisolir sebab sekeliling tempat tinggal saya terendam banjir, dari yang hanya puluhan centi meter hingga lebih dari satu meter. Alamaaak! Itu kan membuat saya tak bisa kemana-mana.

Syukurlah, di akhir Januari, walau curah hujan masih tinggi, banjir sudah mulai surut sesekali. Sayapun 'sukses' mencapai Airport Soekarno Hatta pada pukul 4 pagi, setelah berjibaku dengan banyaknya jalan berlubang akibat dihajar ganasnya air hujan. Singkat cerita, pesawat yang saya tumpangi mendarat dengan selamat di Bandara Kuala Namu, Medan biarpun sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Medan tadi luar biasa suguhan goncangan yang menggerakkan hati siapapun untuk lebih tekun lagi berdoa. Ya, maskapai singa dengan tujuan Penang ini memang mempunyai jadwal transit di Bandar Udara yang belum lama dibuka ini. Paling banter baru beberapa bulan saja.

Bandaranya cukup megah, dengan landas pacu yang terbilang panjang (jadi kita melupakan rasa deg-degan seperti yang kita alami jika mendarat di Bandar Udara Polonia yang landas pacunya pendek). Saya hanya sempat satu kali mengabadikan foto berlatarbelakangkan tulisan Bandar Udara Kuala Namu karena waktunya terbatas sekali. Pelayanan di imigrasi cepat dan lancar. Saya amati, stempelnya masih memakai yang lama, dimana tertera 'Polonia' bukannya "Kuala Namu".  Mungkin mereka belum mempersiapkan dengan baik ya.

Seraya menunggu waktu boarding, hati saya sedikit masgul, saya agak khawatir jika liburan ini bakal kurang seru karena bertepatan dengan hari raya Imlek, menyambut tahun kuda kayu. Saya takut penjual makanan banyak yang tutup demikian pula para agent tour. Kecemasan ketiga jelas, biaya taxy umumnya lebih mahal sekitar 25-35 persen, seiring harga makan tentunya. Tapi apa boleh buat. Tiket perjalanan ini sudah saya pesan sejak lama dan untuk merubah tanggal pulang perginya menambah biaya tak sedikit, apalagi dua-duanya transit. Jadi, saya hanya merubah tanggal keberangkatan saja, itupun saya harus membayar biaya administrasi cukup lumayan atas perubahan kelas. Ya sudahlah, sebagaimana perjalanan sebelumnya, saya hanya bertekad untuk membiarkannya mengalir lantas menikmatinya saja.

Ada yang menyentuh perasaan saya bahkan sampai membuat saya tercenung menyaksikan kebanyakan penumpang adalah kaum sepuh. Sekurangnya tiga orang yang saya lihat mengenakan kursi roda saat naik ke bus yang akan membawa mendekat ke tangga pesawat. Secara refleks, saya membantu menuntun seorang nenek yang diturunkan dari kursi roda dan meniti perlahan anak tangga tersebut. Kru darat yang mengiringinya tersenyum mengucapkan terimakasih. Ternyata oh ternyata, ada juga yang harus dibopong memasuki badan pesawat. Pramugari langsung melaporkan di nomor kursi berapa saja ada 'infant'. Tebakan saya, mereka ini pasti ke Penang untuk berobat. Dan memang benar, satu pesawat baik yang berpenampilan sehat dan bisa berjalan kesana-kemari maupun yang harus dibantu orang lain, tujuannya ke Penang ya untuk memeriksakan kesehatan mereka.  Yang lebih mengejutkan saya adalah mengetahui bahwa sekurangnya ada dua orang nenek yang tadi memakai kursi roda bepergian sendirian, tak ada yang mendampingi sama sekali (sedangkan satu orang lagi yang juga mamakai kursi roda kelihatannya duduk tenang di barisan kursi paling depan, mungkin dengan keluarganya). Duh, kok bisa ya? Atau mungkin keduanya telah terbiasa begitu? Ah, saya hanya berdoa, semoga sesampainya di Penang sudah ada sanak saudara atau minimal agent yang menjemput mereka berdua.

Sesaat sebelum tinggal landas, saya masih dapat melihat persamaan cuaca dengan di Jakarta. Langit begitu hitam pekat diselingi petir sesekali. Mengerikan! Saya menarik napas lega saat akhirnya kami berhasil menembus gumpalan besar awan hitam tersebut dan kini pandangan mata kami lebih terang, semoga saja secerah ini terus sampai tiba waktunya kami mendarat kurang dari satu jam lagi, batin saya.

Rupanya doa saya terjawab dengan sempurna. Bahkan mungkin melebihi ekspektasi. Sorot tajam mentari menyambut kedatangan saya, sungguh di luar dugaan. Panasnya terasa menusuk-nusuk sampai ke kulit yang dibalut pakaian. Wah, rasanya ingin memeluk air conditioning saja kalau sudah begini. Dengar-dengar, sudah 5 bulan lebih hujan tak sekalipun membasahi pulau Penang walau satu tetespun. Saya lihat sekilas berita di televisi, menayangkan tanah yang retak parah dilanda bencana kekeringan. Menurut mereka, itu jelas mengancam mereka tak akan panen dalam waktu dekat. Sempat juga terlihat tayangan berita kebakaran hutan di Riau dan Pontianak. Saya tertunduk dan merenung. Ironis sekali. Di sebagian besar wilayah negara kita, banjir merendam banyak sekali persawahan dan menghambat pengangkutan hasil bumi sampai membusuk di jalanan. Bahan pangan menjadi melonjak harganya. Dua hal yang berbeda malahan bertolak belakang, satunya kekurangan air satunya kelebihan. Hasilnya, sama-sama menyusahkan umat manusia. Mungkin ini memang teguran bagi kita  yang kurang perduli dengan kelestarian alam.

Gara-gara kelamaan menukar sisa Baht (mata uang Thailand) dan dolar Singapura saya, jemputan dari rumah sakit meninggalkan saya. Padahal sebelum jalan ke counter penukaran mata uang asing tadi saya sudah celingukan dan tak melihat satu orang berseragampun yang tampak. Fiuuh! Sayapun bertanya berapa ongkos taxy dan dijawab 45 ringgit. Setelah menimbang, saya putuskan naik bus Rapid Penang saja. Keputusan yang menggelikan. Namanya memang Rapid Penang, tetapi tetap saja namanya bus, dia akan berhenti di setiap perhentian. Rutenya juga seolah berkeliling pulau. Saya agak gelisah sebab kondisi bus yang bersih dan air conditioning yang berfungsi baik tak mengurangi rasa lapar yang mendadak mendera. Sudah begitu, tidak semua pemandangan di luar bus dapat saya nikmati. Lagi-lagi yang terlihat barisan apartemen tua yang tampaknya sudah lama kosong. Tanahnya yang berundak-undak saja yang sedikit menghibur hati ini, serta jalanan yang kadang menurun dan berkelok. Deretan pertokoan membuat saya bosan.

Sekitar satu setengah jam kemudian, sampailah saya di halte rumah sakit, yang letaknya sendiripun sekitar 600 meter dari rumah sakit tersebut. Terpaksalah, saya berjuang mengabaikan panas terik yang menghajar badan dan wajah saya, menyeret-nyeret koper saya dan mencari celah untuk menyeberang di jalanan yang ramai penuh kendaraan berkecepatan tinggi tersebut. Karena ragu rumah sakit yang terletak di sudut jalan ini menghadap kemana akhirnya saya bertanya alamat jelas penginapan saya melalui sms kepada agent saya. Enggak lucu kan, kalau sudah susah-susah menyeberang berkali-kali tapi ternyata saya berada di sisi jalan yang salah. Ada kekesalan melanda saat saya kesulitan menanyakan alamat pada dua orang, satunya tukang kebun satunya lagi pejalan kaki, mereka cuek-cuek saja dan memberikan arahan yang meragukan. Untungnya, orang ketiga yang mendadak muncul dari seberang jalan lain, dengan lugas menjelaskan posisi penginapan saya. Saatnya menyeberang jalan lagi, hihihi…

Pilihan akomodasi saya kali ini jempol sekali ditinjau dari segi kebersihan, keamanan dan ketenangan. Sebut saja namanya, YMCA (Young Men Christian Assosiation-perkumpulan muda-mudi Kristen), bukan penginapan untuk mencari untung semata. Saya agak terkejut, nyaris seratus persen yang menginap di sekitar 72 kamar disini adalah orang Indonesia. Bisa dipastikan mereka akan melakukan pemeriksaan kesehatan di rumah sakit di seberang jalan sana. Jangan-jangan di antara sekian banyak rumah sakit di Penang ini, yang kami tuju itu adalah favoritnya. Tak salah pilih berarti saya, ya.

Di YMCA ini terdapat banyak fasilitas olahraga seperti bulutangkis dan semacamnya. Ada toko peralatan olahraga, ruang doa, satu buah restaurant dan satu buah cafe. Yang saya sebut terakhir juga menjadi tempat untuk sarapan pagi.

Niat hati mau jalan-jalan sore, tapi langkah kaki justru membimbing saya ke cafe untuk mencari makanan. Sayang, tak ada makanan berat tersedia selepas pukul 12 siang. Ya sudahlah, wafel dan segelas susu coklatpun tak apa. Yang bertugas di cafe siang ini seorang pemuda yang sangat ramah dan cekatan. Saya bertanya jarak ke pusat kota, transportasi apa yang sebaiknya saya ambil dan berapa lama waktu yang dihabiskan menuju kesana.

Usai menyantap 'makanan basa-basi' tersebut, hari sudah hampir pukul 5 sore, tapi sorot matahari tak kunjung melembut. Masih terasa menembus kulit ini, tanpa ada angin bertiup sedikitpun. Wew, ini sungguh di luar dugaan. Akhirnya saya manfaatkan waktu untuk berkeliling di bangunan YMCA yang besar ini, melintasi ruang demi ruang dan menunggu pukul 6 tiba. Niat untuk ke pusat kota saya tunda, karena toh saya tak kan dapt menikmati kuliner apapun, kan malam ini sudah harus berpuasa toh, sebagai syarat untuk cek darah besok pagi. Cuma satu setengah jam saya melemaskan kaki, mencari tahu apa yang menarik di sekitar penginapan saya. Saya berjalan ke samping dan menemukan berbegai bentuk arsitektur rumah yang menawan. Tampaknya, ini memang kawasan orang berada. Jalanannya besar dan rapi serta lenggang.

Pukul 19.50 saya telah tiba lagi di kamar saya, membersihkan badan yang terasa lengket oleh keringat dan menggeber suhu pendingin ruangan. Oh, nikmatnya menonton teve sampai pagi hampir datang.  Cuaca ekstrempun masih berlanjut, dimana suhu udara menjadi drop saat malam hari tiba, perbedaannya jauh sekali dengan siang hari. Kalau boleh saya simpulkan dari sekian hari saya berada di Pulau Penang, jika hendak berjalan-jalan baiknya di pagi hari sampai pukul 10.30 saja, karena pukul 11 matahari sudah mulai 'unjuk gigi' dan puncaknya sejak pukul 12 siang sampai dengan pukul 17.00. Nah, pukul 17.30 biarpun masih panas tetapi terkadang ada angin sedikit bertiup, jadi lumayanlah. Amannya kalau mau berjalan-jalan lagi ya antara pukul 18.00 sampai pukul 19.30 lah. Soalnya, malam hari juga kurang nyaman kan, berada di luar meskipun sudah di pusat keramaian? Mendengar ini, mungkin TIMers berpikir, terbatas sekali waktu bersenang-senangnya? Jujur, sayapun demikian. Saat kedatangan saya yang pertama dulu cuaca tak sepanas ini kok. Masih bisalah saya explore kesana-kemari. Tapi sekali ini saya harus mengalah. Pasalnya, pernah dalam suatu hari saya paksakan untuk keluar dari hotel pada pukul 15.30 dan mengandalkan topi untuk menahan panas, hasilnya? Hidung saya mimisan! Ah, ketahanan fisik seseorang memang berbeda-beda, bukan? Dan sayapun harus memaklumi, biarpun perjalanan merupakan kegemaran saya, tak selamanya cuaca bisa akur dengan kondisi fisik ini.

Anglat topi untuk pelayanan yang sangat profesional, serba cepat dan detail

        Pukul 06.45 ketika bangun tidur, saya lihat keadaan di luar masih gelap. Saya mandi dan bersiap untuk turun ke cafe di lantai dua. Karena saya masih berpuasa, jatah sarapan pagi saya bisa dibungkus, lumayan kan? Pendaftaran pasien di rumah sakit sudah dapat dimulai pada jam 07.00 pagi. Sayapun mengikuti banyak sekali pasien lain yang berjalan menuju tempat penyeberangan. Pagi yang nyaman. Cuaca ramah sekali. Rasanya tak sabar untuk segera menyelesaikan pemeriksaan kesehatan ini dan mulai menclok ke beberapa tempat seperti kawasan pulau Tikus dan sebagainya.

Maksud hati ingin benar saya memotret situasi di rumah sakit, namun saya urungkan sebab khawatir mengganggu pasien lain. Padahal, keadaan tampak cerah dengan suasana menyambut hari raya Imlek. Dua hari lagi sudah tiba hari besar itu. Semua terlihat dari dekorasi yang terpampang. Tidak terlalu banyak membuang waktu, saya segera ditangani oleh bagian pendaftaran, mendapatkan nomor antrian dan dianjurkan untuk duduk menunggu kedatangan dokter. Tadi saya sempat juga bertanya paket kesehatan apa saja yang sedang promo. Setelah memeriksa uang dalam dompet dan ternyata cukup (wakakaka) sayapun memutuskan untuk mengambil paket lainnya, yaitu Female Cancer Test seharga 250 ringgit, ya sekedar ingin tahu apakah ada kendala atau bibit-bibit penyakit mengerikan tersebut lebih dini. Nah, test yang satu ini juga dapat dijadikan satu waktu pelaksanaannya. Resepsionis tersenyum manis dan mengatakan, untuk test tambahan apapun (selain Executive Screening yang telah saya pesan via agent) bisa langsung diungkapkan ke perawat yang akan melayani saya nanti. Banyak pasien maupun pengantar pasien duduk menanti giliran diperiksa di ruang tunggu yang nyaman dan luas ini, bahkan kabarnya kalau tidak dalam masa 'liburan' begini, penuh sesak orang di ruangan ini. Ck ck ck…. otak saya langsung mengkalkulasi, berapa banyak coba, kita, bangsa Indonesia memberi 'devisa' bagi negara bekas persemakmuran ini?

Sedang asyik mencari-cari jaringan (wifi di rumah sakit ini lumayan ngebut), saya diberitahu untuk mengikuti seorang perawat yang baru datang. Maka sayapun dibawa ke lantai 5. Duduk lagi di sofa yang terletak di depan ruangan periksa MO (Medical Officer-semacam dokter jaga), dua menit kemudian saya dipersilakan masuk bertepatan keluarnya seseorang dari ruangan.

Ada satu orang dokter dan dua orang perawat di dalam. Yang menarik, tempat duduk pasien itu posisinya tidak di depan meja namun tepat di samping kiri meja. Ini memudahkan dokter bertanya jawab dengan kita, menerangkan serta memeriksa kita. Selesai diperiksa dokter, perawat membawa saya ke ruangan laboratorium dan berpesan agar usai dari sini kembali ke ruangan yang tadi, jangan langsung turun. Disinipun prosesnya cepat saja. Bayangkan, untuk antrian lima orang sebelum saya, rasanya tak sampai 15 menit. Contoh darah dan air seni diperiksa disini dan saya kembali menemui perawat yang semula. Ada kejadian lucu disini, yaitu ketika dia bertanya mengapa saya tak langsung mengetuk pintu ruangan tapi menunggu sampai pintu itu terbuka dan seorang pasien keluar? Kata si perawat, mereka ada berdua dalam ruangan jadi ada pembagian tugas. Saya tersenyum saja, apalagi saat dia berkata, wah, tak seharusnya saya menunggu, saya kan sudah ambil sampel darah, jadi bisa cepat-cepat makan. Hahaha…, tahu saja dia, kemarin kan makan sore saya enggak nampol? Lokasi YMCA yang di pinggiran memang menyulitkan untuk mencari tempat makan yang bervariasi, apalagi berbelanja. Seingat saya ada satu bangunan yang menjual bermacam produk Malaysia yang bolehlah dijadikan oleh-oleh, tapi saat kemarin sore saya berjalan-jalan tampaknya toko tersebut entah sepi pengunjung entah sedang tutup. Tak terlihat kesibukan atau kegiatan apapun di dalamnya.

Diantar si perawat, saya menuju lantai satu, ada sekitar tiga test lagi yang saya jalani, dan kebetulan ruangannya saling berdekatan. Selesai dari situ saya diarahkan ke kasir. Membayar. Diberi pesan untuk mengambil hasilnya sore ini pukul 16.00. Dalam hati saya berdoa hasilnya akan baik semua. Saya harus mengakui, pelayanan rumah sakit ini sungguh baik dan cepat. Loket pendaftaran memang sudah dibuka sejak pukul 07.00 pagi, tetapi saat saya sampai mungkin sudah hampir pukul 08.00. Saya baru ketemu dokter setengah jam kemudian dan hebatnya…, serangkaian test termasuk jeda waktu menanti giliran di masing-masing bagian itu hanya sekitar satu jam saja!

Masih belum  genap pukul 09.30 ketika saya keluar dari lingkungan rumah sakit. Saya berjalan kaki ke arah kiri, mencari tahu apakah cafe Jasmine yang tak jauh dari YMCA sudah buka. Sayangnya belum. Maka sayapun berjalan kaki sesukanya saja, pantang rugi. Hawa sedang ramah begini kok tidak digunakan dengan baik? Pantang lah yauwww!

Baru setengah jam berjalan tak tentu arah, rasanya lapar di perut tak tertahankan. Jatah sarapan pagi yang berupa dua tangkup roti dan telur ceplok tak sanggup menawarkannya. Ya sudahlah, sebaiknya saya kembali lagi saja ke arah YMCA dan menyantap sesuatu di cafe. Semoga saja masih ada nasi atau mie, harap saya.

Saya singgah ke resepsionis sesuai pesan pembersih kamar kemarin. Tujuannya untuk janjian dengan kawannya, Wilma, seorang pegawai senior yang memang sering mengantarkan tamu di sela atau seusai waktu kerjanya. Sama dengan si pembersih ruangan, Wilma ini juga dari etnis Tamil, kebangsaan India. Saya berkenalan dan memesan agar Wilma dapat mengantarkan saya ke beberapa tempat sore ini, setelah saya mengambil hasil check up. Terjadi kesepakatan harga dan sayapun langsung naik ke lantai 2. Sepiring char kuew tioyw yang rasanya standard hadir di meja. Ah, rasanya tentu jauh berbeda dengan yang saya dapatkan ketika berwisata kuliner di Butterworth dulu. Yang penting maag saya tidak kambuh deh!

Pukul 12 siang sampai ke pukul 16.00 tak banyak yang dapat saya lakukan. Melihat dari balik jendela kamar betapa terik membakar di luar sana saja sudah membuat saya enggan. Untunglah, selain menikmati banyak tayangan film dari tv channel yang beragam, mata saya juga sesekali dapat menatap ke luar jendela dan mengagumi pohon-pohon cemara nan tegar di halaman depan YMCA. Betapa menyenangkannya membenamkan diri dengan di kamar berpenyejuk udara ini.

Pukul 16.20 saya sudah menyiapkan  tas tangan dan kamera saya, berangkat ke rumah sakit dan niatnya ingin segera berkeliling pulau. Saat saya datang, dokter sedang berada di ruang emergency menurut perawat yang tadi pagi menghandle saya. Selang 8 menit yang dinanti telah tiba dan saya dipersilakan masuk. Dokternya berbeda dengan yang tadi pagi. Dia mengambil hasil test saya dan menerangkan secara detail semua poin di dalamnya, tentu dengan memberikan beberapa saran agar saya dapat lebih sehat lagi. Bahkan, dia meminta sang perawat mencarikan sebuah artikel yang dapat saya jadikan acuan untuk hidup lebih sehat. Beberapa pertanyaan saya lontarkan dan dijawab dengan baik oleh sang dokter. Saya angkat topi untuk pelayanan yang baik dari rumah sakit ini dan sayapun berpamitan.

Secara umum, hasil test lumayan bagus. Sedikit  ganjalan untuk kelanjutan plesiran ini karena tingkat kolesterol yang lumayan jauh di atas normal dan rupanya saya tak boleh terlampau lelah. Uh, untung saja wisata kali ini bukan wisata untuk memuaskan selera makan, batin saya. Wah, kalau tujuannya untuk wisata kuliner tentu saya kecewa sekali. Tetapi, perihal tidak boleh keletihan? Ah, nantilah saya pikirkan.

Sengaja saya tak segera menuju YMCA namun berputar sedikit agar matahari mulai ramah. Sayangnya usaha ini kurang berhasil. Sesampainya di pelataran YMCA, Wilma sudah siap di mobilnya bahkan menyangka saya membatalkan janji. Dia sudah bersiap untuk pulang rupanya. Saya melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul 17.30 dan mengisyaratkan padanya untuk menunggu sebentar. Ya, berjalan berputar barusan membuat keringat saya mengucur deras, saya ingin ganti t-shirt dulu.

Wilma agak bingung saat saya katakan tak perlulah mengejar terlalu banyak obyek wisata. Yang utama ingin saya lakukan tentu mencari hotel di pusat kota untuk besok dan selanjutnya. Ya, urusan general check up sudah selesai toh, tentu besok saya sudah bisa menjalankan rencana lainnya. Dan akan lebih mudah bagi saya jika tinggal di pusat kota. Lantaran ini termasuk peak season (saat dimana orang-orang tengah berliburan) saya kesulitan mencari kamar hotel. Tak kurang dari 4 hotel telah saya datangi dan semuanya penuh. Hotel kelima memang ada kamar untuk malam besok tetapi malam berikutnya tidak. Lho, bagaimana dong, saya perlu kamar untuk tiga malam loh!

Satu jam lebih telah berlalu cuma untuk mencari hotel. Untungnya, pada hotel yang ke 6, walaupun kondisinya agak memprihatinkan, saya mendapatkan kamar untuk 3 malam di lantai 3. Resepsionisnya dari Indonesia semua. Letaknya tepat di pinggir jalan. Ya sudahlah, saya langsung membayar untuk satu malam dahulu (dan semasa saya menginap disitu entah berapa banyak calon tamu ditolak karena kamar selalu penuh. Beruntungnya saya) dan menarik napas lega.

Banyak kawasan perumahan yang kami lintasi dan pada suatu daerah Wilma mengatakan di sanalah dia tinggal bersama suami dan anaknya. Dia banyak bercerita tentang pekerjaan suaminya dan kelucuan anaknya yang selalu dititipkan di rumah mertua seusai jam sekolah. Saat saya bertanya apakah suaminya tidak keberatan dia bekerja rangkap seperti ini, dengan wajah datar diapun menjawab bahwa jika penghasilan mereka berdua cukup untuk bekal pendidikan terbaik buat anaknya nanti serta membayar berbagai angsuran, buat apa dia berlelah-lelah begini. Sayapun terdiam.

Wilma yang penganut Hindu mengajak saya singgah di sebuah Temple. Dia bersembahyang di dalam beberapa saat dan bertanya saya hendak makan apa. Saya teringat sebuah gerai makanan di Padang Kota Lama yang pernah saya kunjungi. Santai saja, dia meluncur melintasi area pinggiran tersebut, dan tak lupa memamerkan highway (jalan bebas hambatan) serta mal yang tampak megah. Sayangnya banyak sekali kios yang tutup di daerah itu

Saya batalkan niat menyantap makanan di situ dan berbalik ke arah Penang Road. Saya menatap iri pada orang-orang yang menyemut menikmati es cendol. Kata Wilma, kalau saya sudah pindah besok, jangan membeli yang di sisi kiri jalan tapi di seberangnya, itu lebih enak. Saya perhatikan, keduanya sama-sama ramai, seolah orang-orang itu tengah menanti cendol gratis. Wuih… jadi ingat ketika cabang Breadtalk masih sedikit dulu. Ah, andai kendaraan Wilma bisa parkir sejenak … hiks…

Kami berdua masuk ke sebuah foodcourt yang tampak higienis di balik jalan penang, sekian ratus meter dari Butik coklat dan lagi-lagi menemui kenyataan banyak yang sudah tutup. Maksud hati mau mencicipi menu terenak khas pulau ini, apa daya akhirnya terpaksa berlabuh pada masakan Thailand yang rasanya mendekati selera lidah Indonesia. Nasi goreng dalam tempurung nenas terhidang dan kamipun menyantapnya. Disini, saya tergoda juga mencicipi pencuci mulut berupa jelly dengan rasa mint segar yang dikatakan penjualnya baik untuk panas dalam.

Sisa waktu itu dimanfaatkan Wilma untuk menyampaikan banyak informasi bagaimana menuju Komtar, gedung tertinggi sekaligus pusat perbelanjaan yang ramai di kawasan Penang Road dari hotel yang saya booking. Melihat saya sudah letih, Wilma menyarankan sebaiknya saya membeli makanan untuk dibungkus. Maklumlah, di sekitar YMCA sulit mencari makanan berat. Ya sudah, pilihan saya jatuh pada nasi lemak karena hampir di setiap sudut jalan ada yang menjualnya. Penyajiannya mirip nasi kucing di Solo dan Yogya. Saat menyebut saya kepengin membeli 'kacang parang' dan Ribena (salah satu merk minuman segar dengan rasa strawberry atau blackcurrent) Wilma mengatakan sebaiknya saya ke Supermarket saja karena jelas lebih murah. Sayapun diantar ke Penang Plaza dan kalap membeli berbagai cemilan dan minuman Ribena.

Melongok George Town yang mempesona

Balai kota George Town

Balai kota George Town

 

Tepat di hari raya Imlek merupakan hari kedua saya berada di hotel murah meriah ini. Semalaman suasana demikian meriah di sepanjang jalan sampai saya enggan beranjak dari balkon yang sebetulnya termasuk kotor. Ramainya suara petasan dan musik pengiring atraksi barongsai membahana. Kemarin siang ketika tiba, saya hanya punya sedikit waktu untuk mampir ke butik coklat dan pasar tradisional Chowrasta saja, lantas menyusuri sepanjang jalan Burma dimana saya mencari hotel dua hari lalu hingga ke jalan Transfer dan jalan Sultan Ahmad Shah dan selekasnya kembali ke Penang Road gara-gara merinding melewati sebuah pemakaman yang amat sangat luas. Hiiiiyyy…

Sebelum berpisah, Wilma memberi saya satu kantung jeruk. Sudah ditolak dan saya katakan sebaiknya saya ambil satu saja tapi dia bilang dia punya banyak. Ya sudahlah. Anggap ini pertanda baik sebagai bekal menyambut kuda kayu, semoga berkat berkelimpahan buat saya sepanjang tahun deh! Mungkin hatinya juga girang, berkat rayuan 'calon adik iparnya' yang bekerja di butik coklat, saya mengeluarkan uang sampai 240 ringgit untuk membeli coklat. Wakakaka…, gadis India itu memang pinter merayu. Dipikir-pikir, coklat Malaysia kan rasanya biasa saja, tapi kenapa begitu mahalnya?

Jalanan yang agak sepi di awal hari ini tak menyurutkan niat saya untuk bergegas menyusuri jalan Lebuh Chulia, dimana terdapat banyak penginapan, cafe, toko dan restaurant yang konsepnya adalah shophouses atau dengan kata lain semacam ruko dengan gaya arsitektur khas China Selatan. Kalau mau jujur, bangunan serupa dapat kita temukan dimanapun di negara kita (ah, di kota kelahiran saya saja, Pekalongan, saya masih menemukan bangunan serupa), bedanya…. ya bedanya…, kedua negara tetangga kita yaitu malaysia dan Singapura memberi perhatian yang besar atas bangunan tersebut dan melestarikannya.  Rata-rata ruko bertingkat dua itu dicat dengan warna mentereng dan penggunaannya adalah tergantung si pemilik, apakah hendak dijadikan penginapan, toko, rumah makan ataukah sekedar tempat tinggal baginya. Hmmm…, apa boleh buat, lagi-lagi saya harus mengakui, si tetangga kita itu memang patut diacungi jempol dalam hal ini. Bayangkan saja, kawasan George Town yang tidak luas-luas amat (masih bisa kita kelilingi dengan modal jalan kaki saja) sanggup mereka sulap menjadi kawasan wisata yang menarik. Silakan hitung ya, berapa banyak devisa negara yang masuk ke kas mereka. Rata-rata penginapan di sini laris manis loh!

Berkejaran dengan waktu, saya melangkah cepat walaupun suasana masih sepi. Agak takut sih, tetapi saya pikir, daripada saya harus kepanasan? Hehehe…, ini bedanya saya dengan fotografer. Mereka mengejar matahari dan sangat bersahabat dengan penerang bumi itu, demi kualitas hasil foto mereka, saya malah kebalikannya, wakakaka…

Dari jalan besar Lebuh Chulia, saya berbelok ke jalan Masjid kapitan Keling. Ini sudah masuk area George Town. Hiasan lampion memperindah jalanan dan gedung di sekitarnya. Agak sulit mengabadikan Masjid satu ini, sebab terlampau besar dan jalanan mulai ramai. Tak apalah, hibur saya pada diri sendiri dan meneruskan langkah kaki.

Di sudut jalan Lebuh Ah Quee ada sebuah kedai mie yang luar biasa ramai. Aromanya juga sedap. Melihat antriannya yang panjang, saya tahan saja deh rasa lapar ini dan memuaskan mata dengan melihat-lihat bangunan warna-warni di sepanjang jalan kecil ini. Sebagian besar bangunan yang ada adalah perpaduan dari gaya kolonial Eropah berbalutkan budaya Asia (pasti bingung membayangkannya, kan? Datang saja dan saksikan sendiri deh!). Saya yang kurang suka pada gedung-gedung tua, mendadak jatuh cinta pada kawasan ini. Sudah bersih, tampilan gedungnya juga menarik. Tertata dan terjaga, dua kata sederhana yang (seharusnya) juga dapat kita terapkan untuk meningkatkan devisa negara kita dari sektor pariwisata.

Di jalan Lebuh Armenian, mata saya lebih terpuaskan lagi. Disini, bukan hanya bangunan bergaya Cina Selatan yang tampak, di ujungnya beberapa juga bergaya kolonial. Aih.., serasa sedang berada di Eropa! Pantas saja teman-teman saya yang fotografer gemar sekali menjadikan kawasan ini untuk memotret modelnya ya! Bukan sekali, saya menemukan larangan merokok di area George Town. Wah, hal yang baik nih! Semoga kita juga bisa ya mengambil segi positif ini. Jangan lupa, art street (itu loh, gambar-gambar yang dilukis di tembok rumah, dapat berupa gambar kakak adik main ayunan, gambar bruce lee, kucing dan sebagainya) sangat digilai oleh fotografer disini.   Saya tersenyum simpul. Maaf nih yaaa…, bukan meremehkan, coba kalau kita ke Jogja, yang lebih dahsyat dari itu dengan mudah dapat kita lihat, bukan? Ya, ya, ya…. dalam keterbatasan saya sebagai orang awam saya berpikir begini : beda negara kita dengan para tetangga adalah secara alami sebetulnya kita lebih banyak punya potensi, hanya kurang mengelola dengan baik mungkin ya. Ibaratnya sumber air, kita punya yang sangat bagus dan deras airnya tapi kita buka krannya kecil sekali bahkan tak jarang diabaikan, sedangkan tetangga-tetangga  kita yang tanahnya tandus sampai ngotot pakai pompa super segala, berusaha agar setetes air bisa keluar.

Saya senang, yang sekeluarnya dari hotel hanya berjalan sendirian dan kadang digoda rasa khawatir menyusuri Lebuh Muntri, terus ke Lebuh Chulia dan akhirnya tiba disini jarang bersua orang, sekarang mulai terlihat ada penjual souvenir ataupun bule yang asyik memotret. Saya kurang tahu mengapa jalan-jalan yang saya lalui relatif lenggang, apakah karena terlalu pagi atau karena ini hari raya. Jadi teringat, kemarin malam usaha saya mencari join tour yang beroperasi untuk hari ini atau besok tak berhasil. Semua mengatakan libur, bahkan sampai akhir minggu. Wah, pupus deh harapan untuk ke Penang Hill dan meliha tampilan kota Penang dari ketinggian. Untuk ngeteng (nyambung-nyambung dengan angkutan umum) rasanya enggan saja. Akan banyak waktu terbuang. Tak apalah, di kota juga banyak yang dapat dilihat, tekad saya.

Ujung jalan besar yang saya lalui berujung di KOMTAR, maka sayapun singgah kesana. Mal Perangin tepat di sebelahnya. Di pusat perbelanjaan ini kita dapat membeli kebutuhan sehari-hari sampai tanda mata. Dipikir-pikir, boleh juga sih dijadikan alternatif jalan-jalan di kala panas menyengat. Kan terus-terusan dalam ruangan dan yang dilihatpun banyak, cari keasyikan saja, gitu.

Namun rupanya saya sedang tidak mood berbelanja, lagipula tshirt incaran saya untuk keluarga yang sempat saya lihat sepintas dua hari lalu, hari ini tak saya dapatkan. Tokonya tutup.Belum satu jam berada di dalam, rasa lapar sudah menggoda. Sayapun mempercepat langkah, keluar dan memberanikan diri menyerang jalanan yang ramai ke arah pasar tradisional Chowrasta. Ini semata karena saya menghindari kejahatan dengan cara hypnosis ataupun kriminal terang-terangan. Ya, kemarin sore langkah saya sudah sempat sampai di atas jembatan penyeberangan, tepat di depan Komtar, saat serombongan orang mendatangi saya silih berganti menawarkan ini dan itu yang membuat saya lebih waspada dan memutuskan berbalik saja, turun, tak jadi ke Komtar. Bisa saja kan, saat kita kaget mereka memanfaatkannya untuk melakukan tindak kriminal?

Gerobak dan meja-meja di satu dua gang sempit agak sepi. Tak tampak keramaian sebagaimana mestinya sesuai penglihatan saya dua hari lalu. Padahal, dari balik kaca jendela saat itu selintas mata saya dapat menangkap pemandangan si pakcik (disana laki-laki lebih tua dipanggil pakcik atau uncle) piawai membuat popiah (kulit lumpia) atau deretan Nyonya Kuih (kue basah) yang menggiurkan. Ah, haruskah saya menyalahkan karena hari ini hari besar?

Saya membeli 4 buah kue tambun seharga RM 1 dan mengunyahnya sambil membetulkan letak topi saya. Wah, keasyikan jalan saya jadi lupa waktu loh, sudah jam 11.30 nih sekarang. Panasnya poll! Saya perepat langkah, bermaksud ingin pulang dulu dan seharusnya tinggal berjalan lurus saja namun terlanjur melihat rombongan pemain barongsai dalam truk. Saya ikuti ah, soalnya kan dari tadi pagi dapatnya 'permainan' cuma sepotong-sepotong saja. Ternyata truk berhenti di depan sebuah restaurant merangkap hotel yang bagus di jalan Lebuh Chulia.

Wah, terpaksa keluar modal nih saya, demi menonton pertunjukkan barangsai disini, soalnya enggak enak hati kalau menunggu lama-lama disini tidak membeli apa-apa. Sayapun mengorder sarapan pagi berupa yang sayangnya hanya dua tangkup roti dan telur ceplok serta sosis saja. Harganya???? Ah, tak usah disebut ya, kurang rela sebetulnya. Soalnya mereka belum menyiapkan makan siang.

Sekarang saya bisa duduk dengan nyaman, menyaksikan rombongan pemain bersiap-siap. Ternyata prosesinya lama ya, mereka masuk ruangan demi ruangan dulu di restaurant merangkap hotel ini, mengatur meja-meja untuk mereka beraksi dan lamaaaaaa…. kemudian pertunjukkanpun dimulai. Yuhuuuu… senangnya!

Ada dua barongsai yang lincah bergerak kesana-kemari, kadang menghambur ke arah orang yang sedang sarapan dan seringnya mengangkat rekan yang posisinya di depan (di bagian kepala). Tetabuhan yang mengiringi tampak selaras. Saya harus meninggalkan sarapan pagi saya yang rasanya kurang oke itu untuk bergerak mengikuti mereka. Ealah ternyata banyak sekali yang menonton, termasuk yang enggak beli apa-apa. Mereka yang kebetulan sedang berjalan kaki di depan langsung masuk, enggan menyia-nyiakan tontonan gratis ini. So, kami agak kesulitan bergerak karena penuh sesak.

Ada kejadian menggelikan yaitu ketika saya dan seorang laki-laki yang saya taksir usianya sekitar 46-an tahun berpakaian rapi ikut berpindah tempat dengan rajin tanpa mengganggu yang lain. Dia sibuk memotret dengan smartphone-nya dan tertawa ke saya setiap kali kami sudah sampai ke suatu titik  tapi kalah cepat dengan si barongsai yang keburu berbalik badan. "Wah, kita terlambat. Dia menghadap sana sekarang," katanya geli. Ini terjadi berkali-kali dan komentarnya masih saja sama. Saya jadi ikutan ngakak. Lantas saya berpikir, oh, tahun kuda kayu semua harus sigap, berlari kencang seperti sang kuda. Kini perhatian saya tertuju pada si barongsai yang mulai menaiki meja-meja yg disusun tinggi dan berloncatan dengan indahnya disana. Diam-diam saya mengagumi keindahan budaya China ini. Bayangkan saja, tarian yang begitu indah, dipadu dengan kelenturan tubuh dan (pastinya) ilmu kungfu tingkat tinggi. Hasil dari latihan rutin dan ketekunan. Konsep keselarasan dan komunikasi yang baik tersampaikan lewat gerakan mereka yang penuh keserasian. Lihat saja, setiap barongsai itu kan terdiri dari dua orang yang harus bergerak bersamaan dan penuh perhitungan waktu. Kebayangkah, kalau komunikasi kurang nyambung bagaimana mereka bisa meloncati tumpukan meja yang tinggi dan tak seberapa panjang itu dengan tetap menampilkan tarian yang indah? Melakukan sendiri saja sulit, apalagi berdua, bukan?

Satu barongsai sedang menelungkup sementra lainnya tetap beraksi di meja dan di bawah meja. Perhatian saya terpecah dan bingung mau mengabadikan yang mana. Saya pikir yang sedang menelungkup di tanah itu keletihan setelah atraksinya, ternyata tak berapa lama mereka menghambur-hamburkan jeruk ke arah penonton yang menangkapinya. Semua berebut menangkapnya. Oh, tadi itu lagi ngupasin dan makanin jeruk satu piring toh, rupanya! Gelak tawa memenuhi pelataran restaurant ini. Hawa panas tak kami hiraukan. Semua orang larut dalam sukacita, menyaksikan tontonan yang menghibur ini. Ih, siapa sangka, jauh dari tanah air, saya justru dapat menikmati pertunjukkan macam ini tanpa rasa canggung?

Usaha mengabadikan kegesitan barongsai masih berlanjut. Eh, si laki-laki yang tadi juga belum menyerah loh. Dia selalu berada tak jauh dari tempat saya membidik dengan kamera, dan seringnya kami menggeleng-gelengkan kepala bersamaan kalau gambar yang kami inginkan terlewat begitu saja. Wah, ini orang, bakat mau latihan barongsai rupanya, sudah pandai berkomunikasi lewat bahasa pemrograman otak, hahahaha….

Pertunjukkan usai dan si laki-laki tadipun minta ikutan berfoto dengan rombongan barongsai di pelataran beberapa kali, beserta segenap kru hotel merangkap restaurant ini. Lalu dia menyerahkan angpau tebal pada pemimpin rombongan, bercakap-cakap sejenak. Wakaka… saya baru ngeh, rupanya dia ini pemilik tempat akomodasi ini, atau minimal keluarga pemiliklah. Sayapun buru-buru ngacir dan bergegas ke hotel saya.

Di hotel, tiga resepsionis yang memang dari Indonesia dengan serius mengajak saya makan karena mereka masak hari ini. Menu rumah yang menggiurkan. Nasi panas ngepul, ikan asin, sambal, sayur bayam, tahu tempe kering. Hampir saya tergoda apalagi saat mereka dengan yakin mengatakan pasti saya belum makan. Dugaan mereka, kebanyakan rumah makan tidak buka hari ini dan akan sulit bagi saya mencari makan. Walau mereka memaksa dan mengatakan mereka masak banyak, saya tak enak hati menerima tawaran itu dan memilih berselancar di dunia maya saja, menunggu sampai tiba waktunya saya bisa jalan-jalan sore.

Karena tidak sabar, pukul 16.50 saya sudah keluar dari hotel, bermaksud ke arah pasar, berharap dapat menemukan tempat makan. Tapi sudah lebih dari tiga rumah makan saya datangi ternyata mereka libur. Panas sedang gila-gilanya dan akibatnya saya merasakan kepala saya pusing dan hidung terasa tak enak. Tuh kan, saat saya lap dengan tissue ternyata ada darah. Waduh! Saya panik dan mengembangkan payung saya, berjalan ke arah taman dan duduk, berusaha memulihkan stamina beberapa saat. Kemudian, saya berjalan ke arah hotel berniat merebahkan diri sejenak. Tapi setibanya di mulut gang Lebah Muntri saya merasa kondisi saya lebih baik setelah duduk di taman tadi. Sayapun kembali melangkah di jalan sempit itu. Merasa kecewa setiap kali melihat kok rumah makan tutup.

Masuk ke jalan Love Lane saya lihat ada sebuah cafe kecil, menghindari kemungkinan kecewa, dari seberang jalan sudah saya tanyakan merkea buka atau tidak, dan ternyata buka. Harga makanan sudah tertera di papan. Agak mahal tapi masih tiga perempatnya sarapan pagi sayalah. Sayapun memesan yang paling mudah, nasi goreng karena ini menu western semua. Engak mungkin dong saya pesan pizza atau spaghetti saat begini?

Ada empat bule duduk di masing-masing meja. Dua dari mereka kelihatannya menginap di lantai atas yang dijadikan penginapan. Saat menanti, saya minta dibuatkan teh manis dengan sedikit perasan lemon. Hasilnya lumayan memberi tenaga baru. Ya, saya merasa jauh lebih baik setelah makan dan beristirahat lumayan lama di sini. Sudah selesai makanpun saya masih tergoda membeli kentang goreng. Saya pesan dua, maksudnya satu untuk dimakan malam nanti kalau malas keluar hotel dan satunya saya makan disini. Baru seperempat porsi saa makan sudah kekenyangan. Maka saya beranjak dan memanfaatkan terang matahari yang masih tersisa menjelang pukul 19.00 ini.

Penasaran dengan ujung jalan Love Lane ini, saya membentangkan peta dan bersorak dalam hati. Pasalnya, Lebuh Farquhar jaraknya sama dengan jarak pulang ke hotel dari sini. Saya mantapkan melangkah kesana dan matapun terpuaskan melihat deretan bangunan era kolonial nan megah di sepanjang jalan ini. Sebut saja sekurangnya ada Court Building (gedung Mahkamah Tinggi yang bergaya Palladian), Cathedral of the Asssumption (gereja Katolik yang sudah ada sejak tahun 1860) serta St. George's Church (gereja Anglican tertua di Malaysia).

Saya bersantai saja di sekitar tempat itu dan tersadar akan hari yang mulai gelap. Lelah sudah menggayuti sekujur tubuh ini. Tak terelakkan keluhan saya mengapa perjalanan kali ini saya mudah lelah. Karena cuacakah, atau apa? Apa mentang-mentang niatnya mau sekalian periksa kesehatan. Entahlah! Ups, mendadak saya seolah tertegur, dan bersyukur. Suara hati mengingatkan, kurang sehat saja masih bisa plesiran, itu suatu hal yang harus disyukuri bukan?

Sampai di hotel, keinginan untuk makan sudah tak ada. Maka saya berikan bungkusan kentang goreng ke mbak resepsionis yang menyambut dengan hati senang. Sayapun masuk kamar dan baru keluar esok paginya.

Walking city tour sendirian, hayuk aja…

Cheong Fat Tze Mansion

Cheong Fat Tze Mansion

 

        Bisa jadi karena tadi malam beristirahat cukup, pagi ini, 1 Februari 2014 bertepatan dengan hari kedua di tahun kuda kayu semangat saya bertambah untuk segera melakukan 'walking city tour' (keliling kota dengan mengandalkan jalan kaki) sendirian sejauh mungkin saya mampu. Sebetulnya kalau tidak sedang masa libur begini, setahu saya Walking City Tour banyak diselenggarakan oleh penginapan atau agent tour. Jadi seru aja, beramai-ramai. Nah berhubung waktu berkunjung saya kali ini barangkali kurang tepat, saya tak menyerahlah, jalan-jalan sendiri saja tak usah berombongan. Saya periksa lagi peta di tangan saya dan menandai mau kemana saja pagi hari hingga siang lantas dilanjutkan sorenya. Sebotol air minum telah saya selipkan di tas saya.

 Little India adalah pertama tampak oleh saya. Jelas, isinya orang India melulu. Mau cari kain sari, gelang bangle, tindik hidung, cukur alias pakai benang (threading), mencoba makan samosa atau deeset ala India yang lain, dapat dengan mudah dilakukan disini.  Saya melihat-lihat sebentar saja dan karena ada muncul perasaan kurang nyaman saya lanjutkan saja ke Sri Mahariamman Temple  yang tak lain adalah candi Hindu tertua di Penang, berdiri sejak tahun 1883. Menaranya setinggi 7 meter dan patung cantik sebanyak 38 buah di dalamnya tentu suguhan indah bagi indera penglihatan. Saya menengok Kapitan Keling Mosque, mesjid tertua di Penang, sejak tahun 1800 untuk kedua kalinya sebelum menyambangi Goddess of Mercy Temple yang merupakan kelenteng tertua di Penang yakni sejak tahun 1728.

Iseng menempuh jalan berbeda, langkah kaki saya tak sengaja terhenti di Cheong Fat Tze Mansion, sebuah bangunan rumah orang kaya asal China yang memenangkan UNESCO Conservation Heritage Award. Saya melongok sekejap dari luar. Karena masih sepi saya terus saja melangkah dan lagi-lagi terkejut, kok tahu-tahu sudah kembali berada ke area foodcourt yang tempo hari saya kunjungi dengan Wilma. Butik Coklat tepat ada di sebelahnya. Ah, rupanya semua serba dekat saja dan dapat ditempuh dengan jalan kaki ya…, (khusus buat saya pakai tambahan, selama matahari belum terlalu galak bersinar).

Entah karena kurang fokus atau bagaimana, bisa-bisanya Pinang Peranakan Mansion atau sering dikenal sebagai Museum Baba-Nyonya dan Khoo Kongsi Temple (yang ini adalah Kelenteng yang konon pernah dijadikan tempat shooting Anna and the King) bisa-bisanya terabaikan oleh saya. Bisa jadi sebetulnya saya sudah berada di kawasannya, tapi disebabkan terlalu asyik mengagumi bangunan demi bangunan, saya malahan mengesampingkan dua titik kunjung penting itu.

Saat matahari tepat berada di atas kepala, saya 'menyelamatkan' diri dengan masuk ke Mydin, sebuah toko serba ada semacam Mustafa di Singapura. Saya dapat membeli bermacam produk teh, kopi, syrup sampai baju dan tas kalau saya mau, tapi karena enggan membawa yang berat-berat saya beli yang penting-penting saja walau sedikit menyesal, soalnya harganya terpaut tak jauh dari pasar tradisional Chowrasta. Letak Mydin ini tepat berseberangan dengan penjual kue tambun yang paling ramai di depan pasar tersebut. Makanya selesai belanja di Mydin saya kembali ke pasar dan membeli teh tarik, sari limau dan sebagainya. Pemilik toko dengan ramah mengajak saya bercakap-cakap lantaran ingat, tempo hari saya pernah membeli kue tambun juga disini. Katanya setengah berkelakar, biasanya mereka libur sampai seminggu,  tapi karena tahun ini tahun kuda kayu orang harus rajin, lagipula keadaan ekonomi sedang tak seberapa baik, jadi libur bekerjanya cukup sehari. Saya tertawa mengiyakan. Pikir saya, sekalian kepanasan, saya titip saja barang-barang belanjaan saya disini dan masuk ke pusat perbelanjaan eh, cari oleh-oleh sekalian, mana tahu besok pagi sudah tak sempat beli apa-apa toh? Dasar orang baik, si pemilik toko dan anaknya tak keberatan.

Kembali ke hotel dengan tentengan bergantung di kedua pundak dan lengan saya membuat si mbak resepsionis tersenyum dan nyeletuk, "Kita orang Indonesia selalu begitu ya Kak. Bilangnya saja tak punya uang, tapi kalau untuk oleh-oleh selalu memaksakan diri." Wakakaka…. saya setuju sama dia. Sayapun mulai menyiasati agar bagasi saya tak kelebihan berat. Semua kemasan saya buang dan mulai menata. Wah, tas extra sudah keluar lagi nih. Beres dengan itu semua, saya tidur siang dua jam. Sore hingga ke malam, sepuasnya saya susuri jalanan di depan hotel, menyerap aura Penang di waktu malam. Hati tenang, karena semua urusan oleh-oleh sudah aman.

~PENANG LAGI LAIN KALI? HMMMM… MAYBE YES, MAYBE NO :P~

penang-bermacam oleh-oleh khas pulau pinang

Hari terakhir di Pulau Pinang. Saya hanya cuci muka dan sikat gigi lalu berjalan-jalan pagi dan blusukan ke pasar tradisional lagi, duduk menikmati kue basah dan susu almond untuk sarapan pagi.

Sambil menghirup susu almond saya, saya renungkan lagi perjalanan kali ini. Walaupun banyak terkendala oleh cuaca yang kurang ramah, nyaris seluruh pulau sempat saya kelilingi walau sambil lalu. Memang, sunset di Batu Feringhi dan Tanjung Bungah yang banyak dipuji pengunjung tak sempat saya saksikan sebab saya tak sabar dan beralih ke tempat lain. Pulau Aman, pulau Jerjak dan beberapa pulau kecil lainnya yang lebih tenang dari Penang juga luput dari minat saya dalam kepergian kali ini. Juga titik kunjung lain yang lazim diburu orang.

Sebaliknya, tempat yang sama saya kunjungi berulang. Kawasan George Town, pasar tradisional Chowrasta, Komtar dan sebagainya. Malahan, saya punya tempat favorit yaitu sepanjang jalan Lebuh Campbell apalagi gapuranya yang menawan. Saat bertaburkan lampion penuh warna, alamak ciamiknya!

Usai sarapan saya mandi dan menurunkan barang-barang saya di dekat meja resepsionis. Sudah pukul 11.30, saatnya mencari taxy untuk mengantar saya ke Penang International Airport. Kurang lebih 40 menit, tibalah saya di tujuan. Kali ini saya akan menumpang Malaysian Airlines yang transit di Kuala Lumpur. Selamat tinggal Penang, jika ada waktu, bisa saja suatu saat aku mengunjungimu lagi. Bisa iya, bisa tidak, bisik saya dalam hati, hahaha…. tak lain karena gentar dengan teriknya matahari disini. Iyanya, karena saya suka tempatnya yang bersih, beragam kuliner dan budaya. Kita lihat saja di waktu mendatang deh, iya atau tidakkah? Lebih kuat mana 'rayuan ala pulau kelapa' ini.*

Teks dan foto oleh : Lucy

Older Post - Blog <b><b>Makanan</b> di <b>Pulau Pinang</b></b> - Blog <b>Makanan</b> <b>...</b>

Posted: 03 May 2014 07:47 PM PDT

attractionI am going to take you to a country which is full of islands. Any guess? Yes, you are right. It's Malaysia. There are878 islands in Malaysia. This country is known for its stunning sights and attractions. We are going to explore its astounding natural beauty that magnetizes vacationers/ tourists or visitors attraction. It's a country of exclusive culture and tradition. It's one of the best places on the globe with delicious cuisine and hospitable people. Kuala Lumpur is its capital with charming iconic Petronas Twin Towers.  Malaysia has many offshore geographical places. There would be around 510 which include ridges, sandbank and rocks. It's a multicultural state with many festivals and celebrations. Tour to Malaysia, is really a unique and pleasant experience.

There're lots of choices to stay in Malaysia, so it's tough to decide where to stay?

Mid-range hotels and 5 stars hotels with Chinese, Indian or Malaysian traditional cuisine and cozy rooms are easily available for vacationers/visitors anywhere in cities. You can enjoy luxury hotels or resorts located on islands. Accommodation is so cheap in Malaysia, you can easily get a room for $ 3 to $ 9 USD/night. Private rooms are available for $ 11 to $ 20 USD/night. You can camp in Taman Negara and can save lodgings cost.

Anyways, here're some suggestions.

Lone Pine Hotel, located Batu Ferringhi, Penang Island, posses welcoming staff, stunning swimming pool, lip-smacking food, and calm atmosphere with beautiful sea views. You can get a huge variety of cocktails in bar corner.

Golden Sands Resort by Shangri-La, located on Batu Ferringhi beach, Penang Island, is a fantastic family resort, offers services such as water sports, tennis court, delicious food, pools, cozy rooms, hospitable staff and family entertainment center. Its cuisine includes Bar & Grill pizzas and seafood, tea/coffee, snacks, pastries.

where to stay

Mandarin Oriental, Kuala Lumpur, in Kuala Lumpur City Centre, is a fantastic hotel with superb services. Welcoming staff, comfortable rooms, suspended pool and delicious Malaysian food make it more worthy staying.

Tanjong Jara Resort, located on Batu, Dungun, is one of the top 25 hotels in Malaysia, offers services such as Spa village, Pools, tennis court, delicious dining out, air-conditioned rooms, seafood and bar. You can spend a relaxing morning with coffee and newspaper on the beach.

Berjaya Tioman Resort, located in Pulau Tioman, is a traditional Malay style resort, offers services like pools, golf, tennis court, spa, coffee, snacks, global drinks, tasty food, air-conditioning cozy rooms and water sports including diving, fishing, snorkelling etc.

The Majestic Hotel, Majestic Malacca, Cameron Highlands Resort and Sama-Sama Hotel, in Kuala Lumpur, Holiday Villa Beach Resort & Spa and Four Seasons Resort in Langkawi, Miri Marriot Resort & Spa, Mega Hotel, Grand Palace Hotel and Imperial Palace Hotel in Miri, Seven Terraces, Yeng Keng Hotel, Museum Hotel and Hotel Panega are also wonderful places to stay in Malaysia. 

As far as meal is concerned, you can have it in restaurants, western hotels , cooking own when living in camping or as a street meal and just have to pay $1 to $3 USD /head for street meal, $4 to $6 USD/head in restaurants while western food is a bit expensive. Malaysia is a Muslim country that's why drinks are expensive here. Anyways, here are some suggestions of restaurants for you.

Dining in the Dark, located on Changkat Bukit Bintang, Kuala Lumpur, is an amazing restaurant deeply into darkness and offers delicious food including soups, desserts etc.

Malaysian-Food-2

Black Forest, located on Changkat Bukit Bintang, Kuala Lumpur, offers German cuisine.

Kebaya, located on Stewart Lane, Georgetown, Penang Island, offers good services and food.

Living Room Cafe Bar & Gallery, located on Batu Ferringhi, Penang Island, is a good place for families, lovebirds, special occasion or groups. You can enjoy Bar, Asian and Eclectic cuisine here until late night.

Top Spot Food Court, located Bukit Mata Kuching, Kuching is a family restaurant, offers best seafood and opens until late night.

Jambu Restaurant and Lounge, located on Crookshank Road, Kuching is a restaurant offers best pasta in town. It also deals with Bistro, Bar for cocktails and Tapas etc.

Black bean, The Heritage, Tribal Stove and Bella Italia are also superb restaurants in Kuching with the fantastic setting near river.

La Casa Kuantan, Crocodile Rock Pizza & Grill Restaurant, Satay Zul, and Dallah Restaurant in Kuantan offer great services with superb cuisine.

Malaysia is a country with many attractions or points of interests and more exciting thing is those are quite cheap. Here're some suggestions, and you must visit those places once you are in Malaysia.

Birch Memorial Clock Tower, located in one of the biggest cities of Malaysia named "Ipoh". Here're plenty of attention-grabbing sights such as museums, temples and historical buildings.

attraction

Galeria Perdana, Rice Museum, and  Padi Langkawi, in Langkawi, are amazing places with precious stuff and collection, to visit. Langkawi is a beautiful island with lovely beaches and plenty of interesting sights. Ave Stella Maris Catholic Chapel is a beautiful church. Langkawi Wildlife Park and Underwater World are educational and exciting places with lots of fun.

The Islamic city "Kota Bharu" is a great city with royal places, museums, and plenty of other eye-catching sights.

Taman Negara National Park is a beautiful park in oldest rainforest Taman Negara. It's a place with lots of activities like trekking, safaris, and canopy walks.

activities

Islamic Art Museum, Petronas Twin Towers, Putrajaya Bridge, Petrosains Science Discovery Centre, Kuala Lumpur Bird Park, Thean Hou Temple, and Lake Garden Parks are some suggested amazing places to visit in Kuala Lumpur.

Mount Kinabalu National Park, is the best choice for hiking, this Park is full of fun and will never disappoint you on your visit.

Malaysia is a land of festivals and celebrations as multicultural people exist here. Tourists or vacationers can enjoy these festivals almost every month of the year. Here are some suggestions for our visitors.

Tamil Community celebrates festival named "Thaipusam". It's a unique festival that is worth seeing. It can be best observed at Batu Caves in Selangor or Penang, in Januanry.

Chinese New Year is celebrated in February and last for 15 days. You can enjoy lion dances, fireworks, and delicious Chinese meal.

In April, Good Friday and Malaysia Water Festival are celebrated.

Wesak Day, and Harvest Festival are celebrated in May.

June is a month with amazing festivals like Hari Gawai and Dragon Boat Festivals.

July and August are the months with festivals such as the Rainforest World Music Festival, Independence day, Hari Raya Aidilfitri, Hungry Ghost Festival.

September becomes more colorful with Malaysia Day and Mid-Autumn Festival.

Hari Raya Haji, Deepavali Festivals of Lights, and Christmas are celebrated in October, November and December.

Malaysia is not less than a heaven for shopaholics. Super international brands have covered Malaysian market and have luxury stores here. Sales at shopping mall attract many tourists every year. Mega Sales held on Christmas and Independence Day and last up to two months.

Utama, BB Plaza, Fahrenheit88, Lot10, Plaza Low Yat, Suria KLCC and Sogo are some remarkable shopping malls in Kuala Lumpur.

shopping3

ICT@Komtar, Island Plaza, Midlands One Stop, Plaza Gurney, Prangin Mall, Queensbay Mall and Straits Quay are some suggested shopping centers in Penang.

Langkawi Fair is a beautiful place for a shop in Langkawi.

Malaysia is a country with beaches. Therefore, beach holidays can be enjoyed all around the year. Summer season is mild, and usually climate is pleasant in Malaysia so you can visit it in all seasons. Anyhow, December and January are two peak tourists' seasons.  From June until August is also a good time to enjoy beaches activities.

when to fly

I assure you, your vacations to this country holding natural beauty, would be a treasured and unforgettable experience.

No comments:

Post a Comment

Post Popular